Rumah panggung, desa Mantar. |
"Trip kali ini begitu ajib, setiap jengkal perjalanan penuh dengan cerita yang hukumnya haram buat di lupakan begitu saja. Mantar, sebuah desa kecil yang begitu menakjubkan, sebuah desa di Sumbawa Barat yang mempunyai keindahan alam dan pemandangan yang luar biasa."
Jumat malam, kami bertiga ; Saya, Adioz, Bang Enzat dan Fste membicarakan dan menyiapkan segala sesuatunya untuk mengunjungi desa Mantar. Setelah segala hal dibicarakan, kami berempat sepakat pergi jam 5 pagi setelah shalat subuh meski pada akhirnya ngaret karena salah satu dari kami yang sulit di bangunkan ( bagian yang ini jangan di bahas lebih jauh hehe ).
Akhirnya kami pergi ke desa Mantar pada jam 6.15 WITA dengan di iringi dinginnya suasana udara Maluk. Kami berangkat dari Maluk, jika tidak salah perlu waktu 2 jam untuk sampai ke gapura desa Mantar. Sabtu pagi itu, kami sangat menikmati perjalanan dengan sepeda motor butut meski pantat kepanasan.
Fste bilang kalau di desa Mantar tidak ada toko atau yang jualan air minum, rokok atau semacamnya. Alhasil, ketika sampai di desa paling bawah jauh sebelum desa Mantar kami membeli rokok, makanan ringan dan air minum buat bekal nanti ketika sampai di desa yang kami tuju itu. Saya sendiri tidak menyadari bahwa jalan untuk sampai ke desa Mantar seburuk itu apalagi ketika itu panasnya membakar kulit.
Setelah berhenti di desa terakhir sebelum sampai ke desa Mantar, isi bensin dan semacamnya, kami langsung melanjutkan perjalanan. Dan ya, perjalanan kali ini tidak mudah, sangat butuh perjuangan dan kekompakan.
Akhirnya kami pergi ke desa Mantar pada jam 6.15 WITA dengan di iringi dinginnya suasana udara Maluk. Kami berangkat dari Maluk, jika tidak salah perlu waktu 2 jam untuk sampai ke gapura desa Mantar. Sabtu pagi itu, kami sangat menikmati perjalanan dengan sepeda motor butut meski pantat kepanasan.
Fste bilang kalau di desa Mantar tidak ada toko atau yang jualan air minum, rokok atau semacamnya. Alhasil, ketika sampai di desa paling bawah jauh sebelum desa Mantar kami membeli rokok, makanan ringan dan air minum buat bekal nanti ketika sampai di desa yang kami tuju itu. Saya sendiri tidak menyadari bahwa jalan untuk sampai ke desa Mantar seburuk itu apalagi ketika itu panasnya membakar kulit.
Setelah berhenti di desa terakhir sebelum sampai ke desa Mantar, isi bensin dan semacamnya, kami langsung melanjutkan perjalanan. Dan ya, perjalanan kali ini tidak mudah, sangat butuh perjuangan dan kekompakan.
Trek tanjakan menuju Mantar |
Di tengah perjalanan menuju desa Mantar, beberapa kali kami di kagetkan dengan jalan berdebu, suguhan batu yang labil dan yang tidak labil dan terik matahari yang membakar kulit, lengkap sudah. Sesekali kami jatuh dengan motor kami karena tidak kuat menghadapi trek yang semacam itu, dan sesekali kami istirahat untuk mengisi energi kami yang telah terkuras habis karena jalur trek yang berhasil membuat kami galau.
Sesampai di pertengahan jalan, saya di kagetkan dengan warga yang membawa anjingnya untuk memburu babi hutan, anjing yang mereka bawa adalah anjing peliharaan untuk berburu, sesekali saya teriak tak jelas dan menoleh ke belakang terus ketika melihat anjing itu menggonggong tepat ke arah kami.
Yang ada di pikiran saya saat itu ; bagaimana kalau misalnya anjing-anjing itu memburu kami tapi ah sudahlah, semua tergantung pada si majikan juga kan, toh si majikan yang punya anjing itu baik kok. Kemudian setelah kegalauan saya dengan anjing itu mereda, bang Enzat yang ternyata dia mengandalkan saya untuk membawa motor akhirnya mengambil alih, dia menjadi supir yang tangguh ketika menghadapi trek berbatu dan menanjak.
Sementara saya hanya menoleh ke belakang, ke kiri dan ke kanan siapa tahu ada anjing yang mau menggonggong lagi hahaha. Ketika saya berjalan di depan, saya di kagetkan teman saya Dioz jatuh dari motor, saya bantu mengangkat motor yang sempat menindih sahabat saya yang suka kimcil itu. Fste kemudian mengambil alih menjadi supir Dioz, dalam hitungan 5 menit, Fste yang katanya ganteng se Maluk itu jatuh juga dan lucunya dia bilang "Eh kok jadi gelap ya, ada burung ga di atas kepalaku" seketika itu saya dan teman-teman lain ngakak tak ada habisnya.
Setelah menolong Fste dan kemudian supir di gantikan dengan Dioz lagi, dan setelah mengadapi jalan yang cukup menanjak, kami semua kemudian memarkir motor masing-masing dan istirahat sekalian menikmati alam Sumbawa barat yang begitu ajib dan indah itu.
Sesampai di pertengahan jalan, saya di kagetkan dengan warga yang membawa anjingnya untuk memburu babi hutan, anjing yang mereka bawa adalah anjing peliharaan untuk berburu, sesekali saya teriak tak jelas dan menoleh ke belakang terus ketika melihat anjing itu menggonggong tepat ke arah kami.
Yang ada di pikiran saya saat itu ; bagaimana kalau misalnya anjing-anjing itu memburu kami tapi ah sudahlah, semua tergantung pada si majikan juga kan, toh si majikan yang punya anjing itu baik kok. Kemudian setelah kegalauan saya dengan anjing itu mereda, bang Enzat yang ternyata dia mengandalkan saya untuk membawa motor akhirnya mengambil alih, dia menjadi supir yang tangguh ketika menghadapi trek berbatu dan menanjak.
Sementara saya hanya menoleh ke belakang, ke kiri dan ke kanan siapa tahu ada anjing yang mau menggonggong lagi hahaha. Ketika saya berjalan di depan, saya di kagetkan teman saya Dioz jatuh dari motor, saya bantu mengangkat motor yang sempat menindih sahabat saya yang suka kimcil itu. Fste kemudian mengambil alih menjadi supir Dioz, dalam hitungan 5 menit, Fste yang katanya ganteng se Maluk itu jatuh juga dan lucunya dia bilang "Eh kok jadi gelap ya, ada burung ga di atas kepalaku" seketika itu saya dan teman-teman lain ngakak tak ada habisnya.
Setelah menolong Fste dan kemudian supir di gantikan dengan Dioz lagi, dan setelah mengadapi jalan yang cukup menanjak, kami semua kemudian memarkir motor masing-masing dan istirahat sekalian menikmati alam Sumbawa barat yang begitu ajib dan indah itu.
Ketika Fste jatuh dari motor |
Beberapa menit kami istirahat, kami semua bersiap melanjutkan perjalanan menghadapi tanjakan lagi. Kata si Fste selaku teman yang pernah ke desa Mantar, ini adalah tanjakan terakhir untuk sampai ke desa Mantar. Di tandai dengan adanya kebun-kebun warga yang sudah mengering karena kemarau panjang. Setelah menghadapi jalan yang terjal terakhir, akhirnya kami sampai ke desa Mantar.
Kami di sambut oleh para warga desa Mantar yang sedang santai di depan rumah panggungnya. Di jalan bertemu dengan warga, kami tidak melupakan untuk foto bersama agar suatu hari kami bisa becerita kepada semua orang bahwa warga desa Mantar adalah warga yang sangat ramah dan baik. Sejenak kami istirahat dan mengambil gambar bersama warga lokal, emak-emak yang lagi cari kutu anaknya di tangga rumah panggung, bapak-bapak yang sedang sibuk berkebun, dan kuda liar yang sedang sibuk memakan rumput, yah bahagia memang sesederhana itu kawan.
Puas kami bersama berinteraksi dengan warga lokal, kami melanjutkan perjalanan melewati kebun-kebun warga dengan menaiki motor, karena musim kemarau kami di perbolehkan melewati kebun warga memakai motor karena ketika itu musim kering. Kami berempat sesekali melihat kuda yang sedang asik memakan rumput meski ketika itu musim kering. Kami menuju sebuah pohon dengan pemadangan yang luar bisa, pemandangan yang membuat kami semakin cinta tanah air yang indah ini, membuat kami semakin cinta akan hal yang ada di dalamnya.
Berempat kami duduk di bawah pohon dan makan nasi bungkus yang kami beli sebelum berangkat ke desa Mantar. Ketika sedang makan nasi bungkus yang sengaja kami bawa buat bekal di desa Mantar. Entah kenapa saya, bang Enzat dan Dioz ketawa ngakak sampe perut keram, air mata keluar dan saya sendiri tak bisa menahan kentut melihat tingkah polahnya si Fste, dia ketawa tapi caranya ketawa itu bikin saya dan yang lain ketawa ngakak. Sampai saya sendiri dari tadi gagal mau masukin nasi dan lauk ke mulut. hahahah
Kami di sambut oleh para warga desa Mantar yang sedang santai di depan rumah panggungnya. Di jalan bertemu dengan warga, kami tidak melupakan untuk foto bersama agar suatu hari kami bisa becerita kepada semua orang bahwa warga desa Mantar adalah warga yang sangat ramah dan baik. Sejenak kami istirahat dan mengambil gambar bersama warga lokal, emak-emak yang lagi cari kutu anaknya di tangga rumah panggung, bapak-bapak yang sedang sibuk berkebun, dan kuda liar yang sedang sibuk memakan rumput, yah bahagia memang sesederhana itu kawan.
Puas kami bersama berinteraksi dengan warga lokal, kami melanjutkan perjalanan melewati kebun-kebun warga dengan menaiki motor, karena musim kemarau kami di perbolehkan melewati kebun warga memakai motor karena ketika itu musim kering. Kami berempat sesekali melihat kuda yang sedang asik memakan rumput meski ketika itu musim kering. Kami menuju sebuah pohon dengan pemadangan yang luar bisa, pemandangan yang membuat kami semakin cinta tanah air yang indah ini, membuat kami semakin cinta akan hal yang ada di dalamnya.
Berempat kami duduk di bawah pohon dan makan nasi bungkus yang kami beli sebelum berangkat ke desa Mantar. Ketika sedang makan nasi bungkus yang sengaja kami bawa buat bekal di desa Mantar. Entah kenapa saya, bang Enzat dan Dioz ketawa ngakak sampe perut keram, air mata keluar dan saya sendiri tak bisa menahan kentut melihat tingkah polahnya si Fste, dia ketawa tapi caranya ketawa itu bikin saya dan yang lain ketawa ngakak. Sampai saya sendiri dari tadi gagal mau masukin nasi dan lauk ke mulut. hahahah
Bersama bapak bapak di Mantar, apa kabar bapak? ga kangen sama anakmu ini? |
Di bawah pohon menikmati nasi bungkus dengan pemandangan yang begitu absurd |
Cerita saya menuju desa Mantar tidak hanya sampai disini saja, cerita yang bermula dari teman kami Dioz yang mengajak kami kesini hanya karena sebuah film Serdadu Kumbang, sampai hari ini menonton film tersebut merupakan PR saya sendiri. Dari perjalanan yang cukup sulit dan terjal dengan di penuhi bebatuan abu semacamnya, ada tekad dan semangat yang kuat untuk sampai ke desa tersebut.
Pernah mendengar kisah tentang sebuah negeri di awan ketika dulu jaman kecil atau pernah mendengar lagu Katon Bagaskara yang berjudul negeri di atas awan?. Saya rasa dongeng dan lirik lagu itu benar adanya, Mantar adalah sebuah desa yang berada di atas awan, perlu 2 jam lebih untuk sampai ke desa tersebut dengan jalur yang begitu rusak parah. Warga di desa Mantar sangat ramah, kebiasaan mereka duduk di depan teras rumah panggung.
Sekali lagi saya di kagetkan dengan apa yang Tuhan berikan kepada ciptaanNya, manusia-manusia disini adalah manusia yang terpelihara, meskipun minim dengan fasilitas tapi mereka mampu bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang. Dari perjalanan ke desa Mantar ini saya belajar bersyukur, belajar dengan apa yang di miliki sekarang bahwa masih banyak orang-orang yang meski minim fasilitas tapi terus berjuang dengan hidup mereka tanpa mengeluh.
Belajar bahwa sebuah perjuangan membutuhkan proses, tak ada yang instan dalam hidup kecuali mie instan. Kami juga sempat bertemu dengan seorang anak muda yang menggembalakan kuda putihnya yang sedang hamil, kuda putih itu dia beri nama "Sembrani".
Pernah mendengar kisah tentang sebuah negeri di awan ketika dulu jaman kecil atau pernah mendengar lagu Katon Bagaskara yang berjudul negeri di atas awan?. Saya rasa dongeng dan lirik lagu itu benar adanya, Mantar adalah sebuah desa yang berada di atas awan, perlu 2 jam lebih untuk sampai ke desa tersebut dengan jalur yang begitu rusak parah. Warga di desa Mantar sangat ramah, kebiasaan mereka duduk di depan teras rumah panggung.
Sekali lagi saya di kagetkan dengan apa yang Tuhan berikan kepada ciptaanNya, manusia-manusia disini adalah manusia yang terpelihara, meskipun minim dengan fasilitas tapi mereka mampu bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang. Dari perjalanan ke desa Mantar ini saya belajar bersyukur, belajar dengan apa yang di miliki sekarang bahwa masih banyak orang-orang yang meski minim fasilitas tapi terus berjuang dengan hidup mereka tanpa mengeluh.
Belajar bahwa sebuah perjuangan membutuhkan proses, tak ada yang instan dalam hidup kecuali mie instan. Kami juga sempat bertemu dengan seorang anak muda yang menggembalakan kuda putihnya yang sedang hamil, kuda putih itu dia beri nama "Sembrani".
Kuda sedang asik makan rumput |
foto dengan sembrani |
Selepas menikmati desa Mantar dan berinteraksi dengan warga lokal, akhirnya karena waktu memaksa kami pergi. Sekali lagi, pergi adalah sebuah hal yang miris, akhirnya semua hal harus berpisah, bertemu dan kemudian pergi.
Pergi adalah sesuatu yang paling saya benci apalagi saya harus berpisah dengan tempat dan desa yang seindah ini. Karena, dari sini kamu bisa melihat gagahnya rinjani dan indahnya pulau kenawa dari kejauhan. Kami akhirnya pergi dari desa Mantar yang indah ini, pergi kembali ke tempat untuk beristirahat.
Perjalanan pulang ini kami lewati dari jalur lain, jalur yang kata saya semakin kacau, saya memilih turun dari motor karena jalanan dari atas sampe bawah turunan tajam dengan di suguhkan bebatuan yang sangat labil. Kali ini, teman saya si Dioz jatuh lagi karena tidak kuat dengan medan jalan tersebut.
Pergi adalah sesuatu yang paling saya benci apalagi saya harus berpisah dengan tempat dan desa yang seindah ini. Karena, dari sini kamu bisa melihat gagahnya rinjani dan indahnya pulau kenawa dari kejauhan. Kami akhirnya pergi dari desa Mantar yang indah ini, pergi kembali ke tempat untuk beristirahat.
Perjalanan pulang ini kami lewati dari jalur lain, jalur yang kata saya semakin kacau, saya memilih turun dari motor karena jalanan dari atas sampe bawah turunan tajam dengan di suguhkan bebatuan yang sangat labil. Kali ini, teman saya si Dioz jatuh lagi karena tidak kuat dengan medan jalan tersebut.
Terima kasih warga desa Mantar, terima kasih atas indahnya alammu, terima kasih atas segala suguhan yang benar benar menarik itu. Meskipun cuaca sangat panas tapi kami mampu menikmati pemandangan yang sangat indah itu.
Semoga suatu hari saya bisa mampir kembali untuk silaturahmi dengan indahnya alammu kembali. Sungguh rindu sekali untuk menjejaki kaki di atas tanah Mantar dan tanah Sumbawa yang indahnya keterlaluan itu. Suatu hari, saya pasti kembali, memulai cerita dari segala penjuru Nusa Tenggara. Amiin
Semoga suatu hari saya bisa mampir kembali untuk silaturahmi dengan indahnya alammu kembali. Sungguh rindu sekali untuk menjejaki kaki di atas tanah Mantar dan tanah Sumbawa yang indahnya keterlaluan itu. Suatu hari, saya pasti kembali, memulai cerita dari segala penjuru Nusa Tenggara. Amiin
Add caption |
Bersama emak-emak di Mantar |
Bersama bapak dan anak yang merawat Sembrani |
Perjalanan pulang ke Maluk, kami di undang makan di salah satu rumah teman saya di desa Jereweh. Dia telpon saya berkali-kali untuk mampir ke rumahnya karena cumi - cumi sudah menunggu kami untuk kemudian di santap bersama. kami tidak terlalu menunggu lama langsung saja kami hajar ke rumah teman saya tersebut dan makan dengan kenyang ahaha. Orang bugis selalu menjadi yang terbaik dalam memasak makanan laut buktinya enak banget rasanya cumi dan sambel itu.
Terima kasih
Adioz Dendi
Enzat Tubagus
Fste ( sampe sekarang ga tau nama aslinya )
kalian yang terhebat
Tinggalkan Komentar Anda di sini, Terima kasih telah berkunjung. EmoticonEmoticon