Saya mengingat banyak hal di jalur yang sering saya lalu ketika ingin ke Merbabu, jalur desa wekas dengan segala keramah tamahan penduduknya, tanjakan trek-nya yang begitu khas dan airnya yangmelimpah di pos 2.
Pos 3 watu kumpul |
Perjalanan pendakian ke gunung mengajarkan saya banyak hal, termasuk belajar tentang hidup dan ber-masyarakat dengan lebih baik. Dalam melakukan perjalanan pendakian, sebuah team yang dibentuk dengan solid akan berdampak pada pendakian kita. Dalam pendakian ke gunung, kekompakan team adalah kunci. Jika ingin mendaki dengan kecepatan tanpa memperhatikan teman-temannya yang lain maka mendakilah sendirian.
Desa wekas, ah akhirnya saya bisa kembali menghirup udara di desa ini untuk kesekian kalinya, desa dan manusia-manusia yang menyuguhkan hal yang berbeda dari pada perkotaan. Kebun -kebun yang tertata rapi dan ke-ramahtamahan yang diberikan oleh warga desa tampak asri dan tak bisa digantikan oleh apapun. Ohya, dulu saya memulai pendakian ke gunung merbabu untuk pertama kalinya dimulai dari desa ini, desa wekas. Airnya melimpah, sambungan pipa air dari atas mengalir deras menghidupi pedesaan hingga perkebunan, subur dan makmur.
Pendakian hari itu dimulai setelah selesai prepare dan makan siang, kami memulainya setelah berdoa dengan perlahan- lahan melangkah sambil memperhatikan team yang lain. Dalam pendakian ke merbabu dari desa wekas ini, tiga perempuan baru pertama kali mendaki v; Aiu, Rinda dan Septi, satu perempuan bernama mba April baru mendaki ke Andong dan merbabu via Grenden dan tiga laki- laki yang siap mem-backup kecuali saya sendiri hehehe
jalur pendakian setelah pos 2menuju pos 3 batu tulis |
"Pak, maaf saya tak kuat lagi buat melangkah, saya tunggu di basecamp saja" ujar Rinda, dia memulai pendakian pertama kalinya ke merbabu ini dan kami maklum kalau dia memang capek. Sementara team yang didepan duluan, saya dan mbah Soleh selaku sesepuh dalam pendakian kali ini mencoba mem-backup Rinda agar tak langsung putus asa dan menyerah; disini kesabaran dan penaklukan ego diuji. Tapi hati saya berbisik "kalau mau tunggu di basecamp ntar aku aja nemenin *ketawa nyengir hehe*. Suhu (Mas Amin) mem-backup yang didepan sembari melihat kondisi dibelakang, sementara saya dan mbah Soleh tetap memberikan semangat optimis. Pertengahan jalan setelah bonus sebelum pos 1 saya lihat septi muntah- muntah, mungkin karena jalannya ngoyo sama irama langkah kaki yang tak sesuai.
Hal yang begitu penting di ingat dalam sebuah pendakian adalah kekompakan team, team adalah keluarga. Tanpa team, pendakian terasa hambar dan tanpa team pula, puncak hanya mimpi-mimpi dan dongeng tidur belaka.
pos 1 telaga arum jalur desa wekas |
mengabadikan gambar ditempat yang sejuk dan nyaman |
Rinda rupanya tak mau menyerah dengan dirinya, mbah Soleh juga tak kalah lebih sabar dari Rinda. sedikit demi sedikit tapi langkah yang konsisten, melewati tanjakan demi tanjakan dan bonus trek akhirnya Rinda, mbah Soleh dan saya sampai di pos 1 Telaga Arum. Di pos 1 telaga arum juga sudah menunggu team depan, duduk santai sembari menunggu kami yang ketinggalan di belakang. Sore itu, di telaga arum, semburat cahaya matahari mulai menampakkan cahayanya diantara pohon-pohon yang menjulang tinggi, sambil bercanda kami semua melepas penat dan capai dengan candaan sambil sesekali mengabadikan gambar. setengah jam kami break.
30 menit berlalu begitu saja, istirahat di telaga arum harus disudahi dan saatnya angkat tas kerir lagi, melanjutkan perjalanan untuk meraih pos 2. Kami melanjutkan perjalanan melalui langkah kecil tapi konsisten, Rinda juga tampak sudah beradaptasi dengan nyaman oleh treknya, pertengahan perjalanan, hari itu masih sore, ternyata kami harus berhenti lagi untuk menunaikan shalat asar. Matahari senja sudah mulai menampakkan cahaya merahnya, pertanda bahwa waktu senja akan segera tiba, udara dingin sudah menyusup ke sumsum tulang seluruh anggota tubuh.
Jangan sampai berdiam diri terlalu lama ketika break dan sedang dalam perjalanan mendaki, karena hypotermia menyusup pada tubuh yang sedang menggigil kedinginan dan tak bisa mengatur aliran nafas.Setelah semua selesai melaksanakan shalat asar, kami menyiapkan sarung tangan dan headlamp untuk berjaga-jaga siapa tahu kemalaman di perjalanan dan menjaga agar tangan tak terlalu dingin. Langkah demi langkah kami mulai kembali setelah menunaikan kewajiban agama, saya masih membawa tas carier punya Rindah, sore menjelang maghrib itu aiu mulai merasakan langkah kaki yang begitu berat, rupanya dia sudah mulai kelelahan. Hari berganti dengan malam, semilir angin khas pegunungan sudah berubah menjadi dingin, langkah saya juga terlalu lelah, saya menyerahkan tas carier punya rinda kepada mas suhu.
ntah pose apa ini namanya hehe |
Pos watu kumpul bersama Rinda dan mbah Soleh
|
Malam itu, saya, mbah Soleh dan mas suhu menikmati malam yang dingin dengan secangkir kopi. Tak ada nikmat yang lain rasanya selain ngopi di tengah hutan sambil ngobrol dengan teman-teman dekat.
Udara pagi semilir membangunkan satu persatu dari kami, dingin udara khas pegunungan sejuk sekali. Saya masih merungkel di dalam tenda sambil masih memeluk sleeping bag, rasanya kalau tidur di hutan malas banget mau gerak. Pagi, tandanya waktunya memasak, ngeliwet nasi dan goreng menggoreng pun tiba. Sebelum masak memasak dimulai, kopi dan teh didahulukan agar badan tetap hangat. Kami memasak pagi itu dengan menu yang super enak, kalau kata mas suhu ; makanan di gunung ada dua ; enak atau enak banget hehe. Rencana sehabis sarapan sekitar jam 08.00 WIB, kami akan melanjutkan perjalanan hingga ke puncak tapi kami juga tak mau memaksakan sampai puncak.
Masak ala ala |
proses memasak di tenda |
Saya pikir logistik saya bakalan dibawa para monyet, ternyata hingga pagi menjelang logistik yang saya simpan depan tenda masih ada. Mereka menghormati keberadaan kami di area mereka. Sesungguhnya jika kita hidup berdampingan satu sama lain sebagai makhluk Allah dan tak saling mengganggu, mungkin takkan ada yang namanya penebang pohon ilegal yang secara terang-terangan menghancurkan rumah- rumah mereka.
Full team at watu kumpul |
mulai berpose hehe |
Jalur pendakian dari pos 2 hingga pos 3 watu kumpul jarang sekali bonus, masih melewati vegetasi dengan sesekali dilihat para monyet disana. Saya dan mas suhu mem-backup Aiu agar tetap semangat dan tak putus asa. Sementara yang lain masih menunggu di depan ditemani mbah Soleh. Pertengah jalur Aiu sempat meneteskan air mata, saya tahu dia takkan menyerah dengan jalur yang menghajar mentalnya perlahan-lahan, dia harus bisa menaklukan dirinya sendiri bahwa akan sampai diatas pos 3 watu kumpul. Langkah sedikit demi sedikit tapi konsisten yang harus dia terapkan.
Hingga akhirnya, kami berada diujung jalan pendakian yang artinya kami sampai di pos 3 Watu Kumpul. Meskipun tak sampai ke puncak, teman- teman tetap bersyukur bisa sampai hingga di ketinggian ini. Saya mengeluarkan kompor, gelas dan logistik sementara yang lain sibuk dengan foto-foto, mengabadikan gambar lewat bidikan kamera.
Di depan saya, terpampang jelas dinding bukit yang indah. di depan bukit tersebut, menari awan- awan meliuk-liuk hingga saya sempat meneteskan air mata "Ya Allah ya Tuhan kami, begitu kecil kami di bumi-Mu dan betapa Engkau Maha Besar dan Maha Penyayang". Rasanya masih ingin berlama-lama disana tapi siang yang mendung waktu itu, membuat kami harus segera turun.
Mengutip kata- kata bijak dari senior kita Soe Hoek Gie ;
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung
Tinggalkan Komentar Anda di sini, Terima kasih telah berkunjung. EmoticonEmoticon