Puluhan atau justru ratusan kali saya melewati stasiun ini, dari yang pengantar bisa masuk ke dalam gerbong, pedagang kaki lima bisa berjualan dengan bebas hingga saat ini, dimana para pengantar tidak boleh mengantar hingga ke dalam gerbong. Berbagai kenangan saya melewatinya sendiri bersama perasaan saya, dari mulai ketika saya sekolah SMA di Jogja, dari pertama kali saya diantar oleh Abah ke stasiun sambil melihat tangan beliau melambaikan tangan dengan wajah tersenyum.
Saya senantiasa mengingatnya sebagai kenangan termanisStasiun Gubeng mempunyai ratusan kenangan yang panjang, dari tahun 2002 hingga saat ini. Abah saya menekankan pada setiap anaknya jika kembali ke Jogja agar memberikan kabar kepada beliau dari mulai sampai stasiun Gubeng, Surabaya, hingga stasiun Yogyakarta. Kebiasaan itu saya bawa sampai hari ini.
Gubeng tidak hanya tentang kenangan saya saja, jika anda pernah menyambangi stasiun ini, anda akan menjumpai pengamen yang menyanyikan lagu lama tahun 1970-an hingga 1990-an. Seakan anda akan diajaknya bernostalgia akan satu masa, menarik anda seperti magnet untuk hanya sekedar mendengarkan saja kemudian menikmatinya. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya pengamen itu bernyanyi di stasiun Gubeng untuk pertama kalinya, sekitar tahun 2002 mereka sudah berada disitu, menghibur para pengunjung yang sedang santai bersama kopinya di pojokan ataupun di ruang tunggu.
Tapi kenangan terkadang manis juga terkadang pahit, hati saya bisa patah berkali-kali lipat jika mengingat masa dimana Abah saya sering mengantar saya ke stasiun ini dan melihat keadaan beliau sekarang yang sudah tak bisa kemana -mana lagi.
Panjang kereta api yang saya tumpangi ini sama halnya dengan setiap lekukan panjang kenangan saya menaikinya sejak tempo tahun lalu. Ketika masa kejayaan nasi pecel Madiun dan pedagang kaki lima masih berkuasa, jika kereta api berhenti di stasiun Madiun, maka saya bersiap sedia berada di pintu gerbong untuk membelinya. Kadang saya membeli dua bungkus, kadang kalau sama Abah, saya beli tiga bungkus atau hanya cukup dua bungkus saja. Rasanya nasi pecel Madiun, jangan lagi ditanya, maknyus, dari pada anda harus beli makan di dalam kereta yang harganya selangit.
Perjalanan ke Yogyakarta untuk sekian puluh kalinya ini mengajarkan saya banyak hal, salah satunya adalah mengingat kenangan dengan orang yang dicintai dan tersenyum akan itu. Karena terkadang kita cukup mengizinkan diri kita sendiri rapuh untuk mengoreksi apa yang belum pernah kita ketahui dan yang sudah terlewatkan begitu saja.
Kini tata ruang stasiun Gubeng Surabaya berubah drastis. Dulu pengunjung bisa merokok dimana saja dan kapan saja, saat ini banyak papan pengumuman "Dilarang Merokok" yang di tempatkan diberbagai ruang stasiun. Mulai dari yang paling pojok hingga ke pojok lagi, satu-satunya tempat untuk perokok hanyalah ruang perokok yang saat ini bertempat di depan kafe Loko dekat dengan Mushola dan toilet. Di desain sedemekian rupa seperti warung -warung kopi lainnya, ruang untuk perokok yang luasnya tak seberapa ini menjadi tempat favorit buat perokok, termasuk saya sendiri.
Sore ini, kereta yang saya tumpangi datang terlambat, jadwal kedatangan yang seharusnya jam 18.25, masuk ke stasiun gubeng sekitar jam 18.40. Sore itu puluhan penumpang memasuki setiap gerbong, mencari nomor tempat duduk mereka. Kereta ini juga membawa saya selain ke tempat tujuan, juga membawa saya jauh dari segala hal setiap kenangan -kenangan saat bersama Abah, saat saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Terkadang kita harus menengok ke belakang untuk mengingat, mengenang akan suatu masa, merindukannya kemudian tersenyum akan semua hal yang di ingat tersebut. Pun meneteskan air mata karena sudah terlalu lama tak pernah bepergian bareng bersama Abah
Abah saya jika bercerita tentang masa mudanya begitu meluap -luap, penuh semangat. Siapa sangka beliau pernah melewati jalur Temanggung Parakan menuju Wonosobo sampai Banjarnegara hanya untuk mengirim ikan kering. Awal berdagang, Abah saya pertama kalinya berdagang ikan kering, itu sekitar tahun 1950-an jauh sebelum saya lahir.
Kereta sore ini-pun juga membawa saya ke ingatan -ingatan masalalu. Dimana saya hanya akan menangis mengingatnya dan tersenyum akan semua itu. Termasuk jika mengingat tentang almarhum Ibu.
Kereta jam 18.25 yang akhirnya berjalan jam 18.40 hampir jam 19.00, memulai perjalanannya menyusuri berbagai kota yang tujuan akhirnya stasiun Lempuyangan, Jogja. Yah Jogja, ada semua cerita yang seharusnya di kubur dalam- dalam disana dan ada cerita lain yang bisa diambil pelajaran untuk kehidupan di masa depan. Saya hanya perlu percaya bahwa Tuhan adalah perencana yang terbaik.
Kini kereta ini berangkat menuju tujuannya, saya masih tenggelam dengan bayangan akan ingatan -ingatan semua kenangan masa lalu sambil mengelap air mata yang tiba tiba membasahi kedua pipi. Kereta yang sama dengan design gerbong dengan peraturan yang begitu berbeda. Saya menghormati kerinduan saya dengan Abah juga dengan siapapun yang telah membuat saya menjadi seperti sekarang. Love you Dad!!!!
Tinggalkan Komentar Anda di sini, Terima kasih telah berkunjung. EmoticonEmoticon