Kemanapun kamu pergi, selalu ada jalan pulang menuju rumah. Meski jalan itu tak ada, paling tidak rindu akan pulang terus menggelora.
Sayup -sayup bunyi desing kapal Ferry mengalun di pelabuhan Tanjung perak, pagi yang indah tercium bau semilir angin laut, artinya jarak dari tempat saya berdiri menuju rumah sudah dekat. Ah sudah lama rasanya tidak pulang menyesap semilir laut dan melihat orang-orang yang sedang pulang melaut.
Dulu, saya mengisi waktu dengan bermain di pinggiran lautnya, loncat dari atas perahu yg besar, bermain gagah -gagahan siapa yang merasa lelaki dan berani. Dulu, jiwa muda membakar semangat itu, sekarang boro-boro, kadang melihatnya aja sudah serem duluan.
Kalau malam, semasa waktu saya masih mengaji dan sering tidur di langgar tempat ngaji. Malam sekitar jam 12an malam, saya dan teman -teman yang lain mempunyai kegiatan mencari kerang atau kepiting atau udang di sela sela batu karang. Waktu itu, laut sedang surut, bermodalkan lampu petromaks kami berjalan di gelapnya malam mencari apa yg kami cari.
Jika hasil pencariann kerangnya bagus, atau bahkan dapat rajungan, kami memasaknya bersama-sama, tapi jika sedang sial kami kadang menemukan makhluk yg tak kasat mata. Kalau sudah ketemu yang begituan, kami langsung pake jurus langkah seribu, lari sekencang-kencangnya.
Sejujurnya laut adalah rumah kedua bagi saya, karena masa kecil saya nyaris dihabiskan bermain di setiap lekukan ombaknya yang indah tapi juga mengerikan. Jika musim hujan dan badai sudah tiba, listrik di kampung saya pasti mati, kalau sudah mati lampu, saya belajar hanya bermodalkan lampu lilin. Juga ada rumah sebagian warga yang roboh terkena terjangan badai, pinggiran pantai yang dibangun sebagai penahan ombak itu seakan tergerus terus menerus, tak bisa menahan lagi terjangan ombak mengerikan jika sudah musim badai datang.
Begitulah balada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara Madura, harus siap-siap jika barangkali badai akan datang, keseringan mati lampu adalah keseharian di kampung saya malah sudah terbiasa. Bila datang badai di bulan-bulan musim penghujan, antara bulan november hingga februari akhir, ada yang bilang puncaknya di bulan maret. Jika sudah musim badai datang, nelayan sulit mencari cumi-cumi bahkan kadang pulang dari melaut hasilnya dapat ikan tongkol, tengiri dan bisa saja tidak membawa apa-apa.
Hidup di kampung sendiri memang enak, hanya jika penghasilan kurang, maka akan tersisihkan jua keluar kampung. Menjadi buruh di kota-kota orang atau menjadi TKI di luar negeri.Kejayaan masa-masa kayu dan bisnis ikan kering di tahun 1990-an yang pernah dirintis oleh bapak saya membuat semua serba gampang, setidaknya hidup ga sesulit jaman sekarang. Hari ini, bisnis kayu sudah tak semenggeliat dulu, hanya yang mempunyai modal saja yang masih bertahan, selebihnya kabur ke negeri seberang, mencari cara untuk tetap bertahan hidup dan tetap bekerja.
Madura jaman dulu, kampung di jaman dimana saya lebih menikmati menjadi anak kecil, loncat dari atas perahu orang, bermain disetiap ombaknya membuat saya selalu rindu akan masa itu. Mau bagaimanapun kampung halaman adalah tanah air dimana saya dilahirkan, kampung para leluhur, dan dimana orangtua saya juga dilahirkan diatas tanahnya.
Tinggalkan Komentar Anda di sini, Terima kasih telah berkunjung. EmoticonEmoticon