Penampakan dan kejadian aneh yang kita alami di gunung merupakan arti dari definisi tersendiri bagi perjalanan kita untuk meraih puncak, tapi sebagai tamu tentu kita harus menyiapkan badan kita sendiri untuk menjaga segala kemungkinan terjadi. Namun, yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang tamu ketika bertamu di rumah orang adalah menjaga etika dan akhlak, misalnya ; anda tidak perlu bercanda dengan berlebihan sampai mengeluarkan kata- kata jorok. Mungkin anda menyukainya, tapi siapa yang tahu kalau tuan rumah tak menyukai sedikitpun bahkan tidak mau tahu kenapa anda tertawa.
Orang-orang yang tiba-tiba hilang di gunung, kesurupan, dan diganggu makhluk halus di gunung, semata-mata mereka yang tak kasat mata memperingatkan kita atau justru memberikan kita pesan untuk yang mau ke gunung bahwa "Jangan sembarangan di rumah orang."
Pengalaman saya bersama kedua orang teman saya ketika pertama kalinya ke gunung Prau, benar benar pertama kalinya. Pertama kalinya juga saya ke daerah Wonosobo Dieng dan juga pertama kalinya saya takjub betapa indah sekali pemandangannya. Bayangkan, temanggung arah Wonosobo di apit oleh kedua gunung antara gunung Sindoro dan gunung sumbing, menariknya lahan perkebunan warga yang tambah begitu betah memandangnya dan ingin berlama-lama.
Sesampainya kami di desa patak banteng, kami langsung mencari basecampnya dengan bertanya pada warga lokal yang ternyata basecamp Prau berlokasi di kantor kecamatan patak banteng. Di pagi itu, basecamp tampak sepi, hanya lalu lalang orang-orang yang tampak, sebelah basecamp ada toko sembako berikut toko oleh oleh. Pagi itu kami istirahat sebelum pendakian di mulai.
Jam 11.00 WIB siang kami bertiga memulai pendakian Prau untuk pertama kalinya, jalurnya masih asri, vegetasinya masih rapat, dulu belum ada yang berjualan di pos 1 dan sekitarnya, sekarang banyak warga yang berjualan. Warga yang berjualan menyuguhkan air minum, buah semangka dan beberapa gorengan, lumayan untuk para pendaki yang kelelahan.
Setapak demi setapak, langkah demi langkah kamu lalui bertiga sambil bercanda di sepanjang jalur. Capek berhenti istirahat terus begitu hingga akhirnya jam 13.00 WIB siang kami sampai di puncak Gunung Prau Patak Banteng. Dari saking bingungnya, kami bertiga justru bingung puncaknya yang mana, tugu penanda puncak yang juga tanda batas daerah Wonosobo dan Banjarnegara itu belum kami lihat hingga akhirnya ketika kami beristirahat di samping pohon Pinus yang rimbun sambil makan roti, saya merasa ada yang mengawasi kami bertiga, saya diam saja sambil berjalan untuk mencari penanda batas sementara Sindoro sumbing di selimuti kabut.
SIANG ITU PUNCAK PRAU TAK ADA ORANG SAMA SEKALI, HANYA KAMI BERTIGA. KOREKSI; HANYA KAMI BERTIGA YANG BINGUNG PUNCAKNYA MANA DAN MAU CAMP MANA.
Rencana kami bertiga mau bermalam di puncak Prau, langkah pertama kami mencari tempat camp setelah tanjakan menuju pemancar, mencari pemandangan yang tepat berhadapan dengan Sindoro sumbing, sementara kedua gunung itu masih diselimuti kabut yang tebal. Ketika kami sibuk mencari tempat camp, salah satu teman kami mendengar suara perempuan yang cekikikan sementara kami berdua tak mendengar apa-apa. Suasana biasa saja, sampai akhirnya kami menemukan tugu pembatas yg di gunakan sebagai tanda puncak dan buat camp di sebelahnya.
Tenda sudah didirikan, logistik sudah dikeluarkan dari tas ransel, kami membuat kopi dan mie goreng siang itu dengan sesekali makan roti yang tadi dibeli di toko sebelah basecamp. Sambil nyantai di tenda, kami foto-foto dengan background Sindoro sumbing yang sampai siang itu masih diselimuti kabut, hanya kelihatan puncaknya saja.
Puas dengan foto-foto, kedua teman saya memutuskan ingin tidur di dalam tenda sementara saya ingin menikmati semilir angin pegunungan yang dingin dan nyaman di luar tenda. Sekali lg di puncak Prau siang itu hanya kami bertiga, tidak orang lain selain kami bertiga.
Hingga akhirnya ...
Saya melihat wanita tua seperti mbah-mbah berdiri di bawah pohon Pinus, memperhatikan kami bertiga. Saya kaget tapi saya masih ingin berpikir positif siang itu, kedua kalinya ketika saya sayup-sayup tidur ada langkah tapak kaki yang mendekati tenda kami, ketika saya lihat tidak ada apa-apa. Sementara satu orang teman kami yg tidur di tenda kaget juga karena ada yg gerayangi sebuah tangan dengan penampakan mbah-mbah.
Mendengar hal itu, sontak saya kaget, teman saya kaget dan buru buru memutuskan untuk turun. Setelah packing, kami lari dari puncak hingga pos 1 tanpa istirahat sedetikpun. Sesampainya di bawah lereng Prau, desa patak banteng. Kami ditawarkan menginap di rumah warga hingga akhirnya keesokan paginya kami kembali lagi perjalanan ke Jogja.
Ketika menginap di rumah salah satu warga patak banteng, di lereng gunung prau. Salah satu tuan rumah bercerita tentang seorang mbah-mbah perempuan yang dulu banget naik gunung prau untuk mencari kayu bakar hingga sampai sekarang tidak pernah turun lagi. Menariknya mereka bilang kalau di puncak prau ada burung yang kalau bunyi suaranya lebih mirip kuntilanak jika sedang tertawa.
Ketika menginap di rumah salah satu warga patak banteng, di lereng gunung prau. Salah satu tuan rumah bercerita tentang seorang mbah-mbah perempuan yang dulu banget naik gunung prau untuk mencari kayu bakar hingga sampai sekarang tidak pernah turun lagi. Menariknya mereka bilang kalau di puncak prau ada burung yang kalau bunyi suaranya lebih mirip kuntilanak jika sedang tertawa.
Jalur pendakian memanjang dan menemui tempat yang sama berkali-kali
Kejadian ini sudah lama terjadi, sekitar akhir maret tahun 2014. Saya dengan teman-teman sebanyak 14 orang memulai pendakian ke gunung sindoro, 14 orang 14 emosi dan 14 manusia yang bermacam-macam karakter bertemu dengan semangat yang menggebu untuk ke puncak sindoro. Tidak ada yang bisa berencana mengenai apa yang terjadi pada kami, tapi kejadian tersebut benar-benar nyata seakan menegur kami bahwa di gunung kami bukan siapa-siapa.
Sebenarnya dari awal pendakian tidak terjadi apa-apa, semua tampak normal, benar-benar pendakian yang normal. Kami membawa nasi bungkus dari rumah salah satu teman kami di Wonosobo agar bisa dimakan di pos 2 sindoro. Perjalanan yang santai sore itu membuat saya dan seluruh teman saya sangat menikmatinya apalagi di lereng gunung yang begitu sejuk dan damai. Kami sampai pos 3 kira-kira sekitar jam 10.30 malam yang ternyata malam itu pos 3 full dengan tenda.
Keesokan harinya, kami kesiangan untuk summit. Satu teman saya tidak jadi ikut ke puncak dikarenakan cidera lutut sebelah kanan dan satu teman lagi menjaganya, jadi yang menunggu tenda dua orang teman saya. Sedangkan saya dan teman-teman yang lain sampai puncak jam 12.30 siang, sekitar 4 jam perjalanan menuju puncak dari pos 3, begitu puas di puncak kami turun. Dalam perjalanan turun dari puncak sindoro hingga pos 3 tampak lancar sekali, satu orang teman saya jatuh duduk karena terpleset di jalur pendakian hingga sampai pos 3 kembali kami memasak buat pengobat lapar. Sore itu benar-benar tidak ada apa-apa yang terjadi di antara kami hingga kejadian yang tidak disangka-sangka terjadi ketika perjalanan turun dari pos 3 menuju pos 1.
Setelah masak dan makan, menjelang maghrib kami turun dari pos 3 hingga adzan maghrib berkumandang pun kami tetap berjalan, menyusuri hutan-hutan sindoro yang rapat. Perjalanan yang santai, jika team sudah tidak rapat maka team depan berhenti, yang tengah dan paling belakang merapat, begitu seterusnya hingga tak terasa kami sampai pos 2. Hingga dipertengahan perjalanan turun dari pos 2 ke pos 1, konflik mulai muncul antara team depan (leader) dengan team belakang (sweeper), ditambah salah satu dari team anggota team depan ada yg cidera juga team belakang cidera hingga timbul emosi.
Jam di tangan menunjukkan jam 23.00 malam tapi suasana malam itu lebih horor, suara jangkrik yang bersahutan, burung burung hantu juga menambah suasana makin merinding hingga tak terasa kami baru sadar bahwa kami telah melewati jalan yang sama berkali-kali. Malam itu kami tak mendapati satupun pendaki yang sedang mau naik hingga sampai dipertengahan mau sampai pos 1.
Salah satu cerita oleh teman kami yang jadi sweeper, perempuan tangguh yang tidak mau di ganti posisinya. kalian bisa baca cerita di blognya Disini |
"Woi yang di depan berhenti, yang belakang jauh" teriak team belakang memperingatkan team depan agar segera berhenti.
Team sapu bersih paling belakang mendapatkan keanehan ketika menapak kaki, suara tapak kakinya bersuara 3 kali, yang ganjil suara tapak kaki di dengar tepat di belakang pas, artinya dibelakang pasti ada yang mengikuti kami.
Mendekati pos 1 kami bertemu dengan rombongan pendaki yang mau naik, rupanya teman kami yang dari Wonosobo menitipkan pesan kepada rombongan pendaki jika kami sedang di tunggu di bawah pos 1.
"Mas, di tunggu mas Aji di bawah pos 1" kata mas mas pendaki yang dititipkan pesan.
Singkat cerita..
Menjelang sampai pos 1 kami teriak dan akhirnya teriakan kami di jawab oleh mas Aji, dia bersama temannya lari membopong teman team belakang yang sedang cidera juga team depan.
Malam itu jam menunjukkan 02.30 pagi, kami saling berdiam diri di mobil pickup yg di bawa mas aji untuk menjemput kami dan kemudian di bawa ke rumahnya untuk istirahat.
Sesampainya di rumah mas Aji, kami semua berisitirahat dan mengucapkan syukur Alhamdulillah akhirnya kembali dalam keadaan selamat. Kami beristirahat di sambi bercerita satu sama lain soal kejadian yang baru saja menimpa kami. Dan benar saja, masing masing banyak yang menyadari penampakan aneh dan yang lebih ngeri lagi, jalan jembatan kecil yang kami lewati ternyata kami melewatinya berkali -kali, sempat teman saya menandai jembatan kecil tersebut dengan kain simpul warna merah, ternyata dia melihatnya tiga kali. Teman saya ada yang di ikuti sampai rumahnya Mas Aji hingga besoknya dia di ruqyah sebelum pulang ke rumah asalnya.
Semenjak itu kami memohon maaf satu sama lain, karena emosi satu team yang tak bisa di bendung. Kejadian apa yang kami alami merupakan pelajaran khususnya buat kami agar lebih bisa menjaga ritme emosi dan lebih sabar.
Tinggalkan Komentar Anda di sini, Terima kasih telah berkunjung. EmoticonEmoticon